Minggu, 28 Januari 2024

Dakwah Di Luar Kota Makkah

15.29

Dakwah Di Luar Kota Makkah

Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- di Kota Thaif

Pada bulan Syawwal tahun ke 10 kenabian atau tepatnya pada penghujung bulan Mei atau awal Juni 619 M Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- pergi menuju kota Thaif yang letaknya sekitar 60 mil dari kota Makkah. Beliau datang dan pergi ke sana dengan berjalan kaki didampingi anak angkat beliau, Zaid bin Haritsah. Setiap melewati suatu kabilah, beliau mengajak mereka untuk memeluk Islam, namun tidak satu kabilah pun yang memberikan responsnya. Tatkala tiba di Thaif beliau mendatangi tiga orang bersaudara yang merupakan para pemuka kabilah Tsaqif. Mereka bernama Abd Yala'il, Mas'ud dan Habib. Ketiganya adalah putra Amr bin Umair ats-Tsaqafi. Beliau duduk-duduk bersama mereka seraya mengajak mereka kepada Allah dan membela Islam.

Salah seorang dari mereka berkata: jika Allah benar-benar mengutusmu maka Dia akan merobek-robek pakaian Ka'bah.

Seorang lagi berkata: apakah Allah tidak menemukan orang lain selain dirimu?

Orang terakhir berkata: Demi Allah! Aku sekali-kali tidak akan mau berbicara denganmu! Jika memang engkau seorang Rasul sungguh engkau terlalu agung untuk dibantah ucapanmu dan jika engkau seorang pendusta terhadap Allah, maka tidak patut pula aku berbicara denganmu.

Mendengar hal tersebut Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- berdiri dan meninggalkan mereka seraya berkata: jika kalian melakukan apa yang telah kalian lakukan (maksudnya menolak ajakan beliau), maka rahasiakanlah tentang diriku.

Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam tinggal di tengah penduduk kota Thaif selama sepuluh hari, selama masa itu beliau tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu dan berbicara dengan para pemuka mereka. Sebaliknya, jawaban mereka hanyalah: keluarlah engkau dari negeri kami. Mereka membiarkan beliau menjadi bulan-bulanan orang-orang tak bermoral di kalangan mereka. Maka tatkala beliau hendak keluar, orang-orang tersebut beserta budak-budak mereka mencaci-maki dan meneriaki beliau sehingga khalayak berkumpul. Mereka menghadang beliau dengan membuat dua barisan, lalu melempari beliau dengan batu dan mencaci-maki beliau dengan ucapan-ucapan tak senonoh, kemudian menghujani tumit beliau dengan batu, hingga kedua sandal yang beliau pakai bersimbah darah.

Zaid bin Haritsah yang bersama beliau menjadikan dirinya sebagai perisai untuk melindungi diri beliau –shallallahu 'alaihi wasallam-, tindakan ini mengakibatkan kepalanya mengalami luka-luka, sementara orang-orang tersebut terus melakukan itu hingga memaksanya berlindung ke kebun milik Uthbah dan Syaibah bin Rabi'ah yang terletak 3 mil dari kota Thaif, ketika telah berlindung di sana mereka pun meninggalkannya.

Beliau menghampiri sebuah pohon anggur lalu duduk-duduk dan berteduh di bawah naungannya menghadap ke kebun. Setelah duduk dan merasa tenang kembali, beliau berdo'a dengan sebuah do'a yang amat terkenal, do'a yang menggambarkan betapa hati beliau dipenuhi rasa getir dan sedih terhadap sikap keras yang dialaminya, serta menyayangkan tidak adanya seorang pun yang beriman kepadanya, beliau mengadu:

Ya Allah, sesungguhnya kepadaMu lah aku mengadukan kelemahan diriku, sedikitnya upayaku, serta hinanya diriku di hadapan manusia. Wahai Yang Maha Pengasih diantara para pengasih, Engkau adalah Rabb orang-orang yang tertindas, dan Engkaulah Rabbku, kepada siapa lagi Engkau menyerahkan diriku? Apakah kepada orang lain yang selalu bermuka masam terhadapku? Atau kepada musuh yang telah menguasai urusanku? Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tidak peduli, akan tetapi ampunan yang Engkau anugerahkan adalah lebih luas bagiku.  Aku berlindung dengan perantaraan Nur WajahMu yang menyinari segenap kegelapan dan yang karenanya urusan dunia dan akhirat menjadi baik, agar Engkau tidak turunkan murkaMu kepadaku, atau kebencianMu melanda diriku. Engkaulah yang berhak menegurku hingga Engkau menjadi ridha. Tiada daya serta upaya melainkan karenaMu.

Menyaksikan hal itu rasa belas kasih Uthbah dan Syaibah bin Rabi'ah tergerak, hingga mereka memanggil budak mereka yang beragama Nasrani bernama Addas seraya berkata kepadanya: ambilah setangkai anggur ini dan antarkan kepada orang tersebut. Tatkala dia menaruhnya di hadapan Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- beliau mengulurkan tangannya untuk mengambilnya dengan membaca: Bismillah. Lalu memakannya.

Addas berkata: sesungguhnya ucapan ini tidak biasa diucapkan oleh penduduk negeri ini.

Lantas Rasulullah –shallallahu 'slsihi wasallam- bertanya kepadanya: kamu berasal dari negeri mana? Dan apa agamamu?

Dia menjawab: aku seorang Nasrani dari penduduk Ninawa (Nineveh).

Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- berkata: dari negeri seorang pria shalih bernama Yunus bin Matta?

Orang tersebut berkata: apa yang kamu ketahui tentang Yunus bin Matta?

Beliau menjawab: dia adalah saudaraku, dia seorang Nabi, demikian pula dengan diriku.

 Addas langsung merengkuh kepala Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam-, kedua tangan dan kaki beliau lalu diciuminya.

Sementara Uthbah dan Syaibah bin Rabi'ah saling berkata satu sama lainnya: budakmu itu telah dibuatnya menentangmu.

Tatkala Addas datang keduanya berkata kepadanya: celakalah  kamu! Apa yang telah engkau lakukan?

Addas berkata: wahai tuanku tidak ada sesuatu pun di muka bumi ini yang lebih baik dari orang ini, dia telah memberitahukan kepadaku suatu hal yang hanya diketahui oleh seorang Nabi.

Mereka berdua berkata: celakalah kamu wahai Addas! Jangan biarkan dia memalingkanmu dari agamamu, sebab agamamu lebih baik dari agamanya.

Setelah keluar dari kebun itu Rasulullah-shallallahu 'alaihi wasallam- pulang menuju Makkah dengan perasaan getir dan sedih, serta hati yang hancur lebur. Tatkala beliau sampai di suatu tempat yang bernama Qarn al-Manazil Allah megutus Jibril kepadanya bersama Malaikat penjaga gunung yang menunggu perintahnya untuk menimpakan al-Akhsyabain (dua gunung di Makkah, yaitu gunung Abu Qubais dan yang di seberangnya, Qu'ayqa'an) terhadap penduduk Makkah.

Imam al-Bukhari meriwayatkan rincian kisah ini dengan sanadnya dari Urwah bin az-Zubair bahwasannya Aisyah –radhiyallahu 'anha- bercerita kepadanya bahwa dia pernah berkata kepada Nabi –shallallahu 'alaihi wasallam-: apakah engkau pernah menghadapi suatu hari yang lebih berat daripada perang Uhud?

Beliau bersabda: aku pernah mendapatkan perlakuan kasar dari kaummu, tetapi perlakuan mereka yang paling berat yang aku rasakan adalah pada waktu di Aqabah, ketika aku menawarkan diriku kepada Ibnu Abd Yala'il bin Abd Kallal tetapi dia tidak menanggapi apa yang aku inginkan sehingga aku beranjak dari sisinya dalam keadaan sedih. Aku tidak lagi menyadari apa yang terjadi kecuali setelah dekat tempat yang bernama Qarn ats-Tsa'alib –sekarang disebur Qarn al-Manazil-. Ketika aku mengangkat kepalaku, tiba-tiba datang segumpal awan menaungiku, lalu aku melihat ke arahnya, dan ternyata di sana ada Jibril yang memanggilku. Dia berkata: sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan tanggapan mereka terhadapmu. Allah telah mengutus kepadamu malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan kepadanya sesuai keinginanmu terhadap mereka. Malaikat penjaga gunung tersebut memanggilku dan memberi salam kepadaku, kemudian berkata: wahai Muhammad! Hal itu terserah padamu, jika engkau menghendaki aku meratakan mereka dengan al-Akhsyabain maka aku akan lakukan. Nabi –shallallahu'alaihi wasallam menjawab-: bahkan aku berharap kelak Allah munculkan dari tulang punggung mereka suatu kaum yang menyambah Allah –'azza wajalla- semata dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apa pun.

Melalui jawaban yang diberikan oleh Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- ini tampaklah kepribadian yang istimewa dan akhlak beliau yang demikian agung dan sulit untuk diselami.

Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- tersadar dan hatinya merasa tentram berkat adanya pertolongan dalam wujud ghaib yang diberikan oleh Allah kepadanya dari atas tujuh langit, kemudian beliau meneruskan perjalanan hingga sampai ke lembah Nakhlah dan berdiam di sana selama beberapa hari. Di lembah Nakhlah tersebut terdapat dua tempat yang cocok untuk didiami, yaitu as-Sayl al-Kabir dan az-Zimah sebab disana terdapat sumber air dan subur.

Di saat beliau tinggal di sana Allah mengutus kepada beliau segolongan jin yang kisahnya diabadikan di dalam al-Qur'an pada dua tempat yaitu dalam surat al-Ahqaf sebagaimana firmanNya:

Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan al-Qur'an, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: diamlah kamu (untuk mendengarkannya). Ketika pebacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: hai kaum kami, sesungguhnya kami mendengarkan kitab (al-Qur'an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepadaNya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih. (al-Ahqaf: 29-31).

Katakanlah (hai Muhammad) telah diwahyukan kepadaku bahwasannya sekumpulan jin telah mendengarkan (al-Qur'an) lalu mereka berkata: sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur'an yang menakjubkan. (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorang pun dengan Rabb kami. (al-Jin: 1-2)… hingga ayat 15.

Dari alur cerita di dalam ayat-ayat tersebut demikia juga dari riwayat-riwayat yang menafsirkan kejadian tersebut diketahui bahwa Nabi –shallallahu 'alaihi wasallam- tidak mengetahui kehadiran segolongan jin tersebut saat mereka hadir dan mendengarkan. Beliau baru mengetahuinya ketika Allah memberitahukan kepadanya dengan perantara ayat-ayat tersebut. Kehadiran bangsa jin ini adalah untuk yang pertama kalinya, namun berdasarkan alur cerita berbagai riwayat diketahui bahwa setelah itu mereka seringkali datang.

Benarlah bahwa kejadian ini merupakan pertolongan lainnya yang dianugerahkan oleh Allah dari kekayaan ghaibnya yang tersembunyi, yaitu berupa tentara-tentaraNya yang hanya Dia saja Yang Maha Mengetahuinya.

Disamping itu, ayat-ayat yang turun terkait dengan kejadian tersebut di dalamnya terdapat berita-berita gembira tentang kemenangan dakwah Nabi –shallallahu 'alaihi wasallam- dan tidak akan ada satu kekuatan pun di muka bumi yang mampu menghalanginya. Allah berfirman:

Dan orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah maka dia tidak akan dapat melepaskan diri dari azab Allah di muka bumi, dan tidak ada baginya pelindung selain Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (al-Ahqaf: 32).

Dan sesungguhnya kami mengetahui bahwa kali sekali-kali tidak akan dapat melepaskan diri (dari kekuasaan) Allah di muka bumi dan sekali-kali tidak (pula) dapat melepaskan diri (daripada) Nya dengan lari. (al-Jin: 32).

Berkat adanya pertolongan dan kabar-kabar gembira tersebut gumpalan awan kegetiran, kesedihan dan keputus asaan yang semula mengukung beliau sejak keluar dari Thaif karena diusir dan ditolak menjadi sirna, sehingga beliau membulatkan tekad untuk kembali ke Makkah guna melanjutkan rencananya semula di dalam menawarkan Islam dan menyampaikan risalah Allah yang abadi dengan semangat keseriusan, heroik dan penuh vitalitas.

Ketika itu Zaid bin Haritsah berkata kepada beliau: bagaimana mungkin engkau menemui mereka kembali sedangkan mereka (kaum Quraisy) telah mengusirmu?

Beliau menjawab: wahai Zaid! Sesungguhnya Allah akan memberi kemudahan dan jalan keluar. Sesungguhnya Allah akan menolong agamaNya dan akan memenangkan NabiNya,

Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- meneruskan perjalanannya menuju Makkah hingga manakala sudah mendekat, beliau tinggal di Hira' lalu mengutus seseorang dari suku Khuza'ah agar mendatangi al-Akhnas bin Syuraiq guna meminta perlindungan. Lalu dia (al-Akhnas) berkata: aku adalah orang yang bersekutu, maka seorang sekutu tidak memberikan perlindungan.

Kemudian beliau mengutus utusannya tersebut kepada Suhail bin Amr, lalu dia berkata: sesungguhnya Bani Amir tidak memberikan perlindungan kepada Bani Ka'ab. Lalu beliau mengutus utusannya tersebut kepada al-Muth'im bin Adi, maka berkatalah ia: baiklah aku bersedia.

Kemudian dia mengenakan senjata dan mengajak putra-putra dan kaumnya seraya berkata: pakailah senjata dan ambillah posisi di sudut Ka'bah, karena sesungguhnya aku telah memberikan perlindungan kepada Muhammad.

Dia kemudian mengutus seseorang menemui Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- (dengan membawa pesan) agar beliau memasuki kota Makkah. Lalu beliau pun memasukinya bersama Zaid bin Haritsah hingga sampai ke Masjid Haram. Di sana al-Muth'im bin Adi sedang berada di atas tunggangannya seraya berseru: wahai kaum Quraisy! Sesungguhnya aku telah memberikan perlindungan kepada Muhammad, maka janganlah ada seorang pun di antara kalian yang mengejeknya.

Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam berjalan hingga sampai ke Rukun Yamani (salah satu sudut Ka'bah) lalu beliau menyalaminya (menyentuhnya) selanjutnya melakukan thawaf dan shalat dua rakaat kemudian pulang ke rumahnya. Sementara al-Muth'im bin Adi dan putra-putranya mengiringi beliau dengan senjata hingga beliau –shallallahu 'alaihi wasallam- benar benar memasuki rumahnya.

Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Abu Jahal ketika itu menanyai al-Muth'im: engkau sebagai pemberi pelindung atau pengikut?

Dia menjawab: tidak, aku hanya pemberi perlindungan.

Lalu Abu Jahal berkata kepadanya: kalau begitu kami juga memberikan perlindungan kepada orang yang telah engkau beri perlindungan tersebut.

Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- senantiasa memendam budi baik yang dibuat oleh al-Muth'im tersebut terhadap diri beliau, oleh karena itu beliau pernah berkata tentang tawanan perang Badar: andaikata al-Muth'im masih hidup kemudian dia memintaku untuk membebaskan mereka, niscaya akan aku serahkan mereka kepadanya.