Rabu, 24 Januari 2024

Faktor Pendorong Kesabaran dan Ketegaran Kaum Muslimin. (Bagian 1)

05.43

 Faktor Pendorong Kesabaran dan Ketegaran Kaum Muslimin. (Bagian 1)

Seorang yang berhati lembut akan berdiri tercengang, dan para cendikiawan akan saling bertanya di antara mereka: apa sebenarnya sebab-sebab dan faktor-faktor yang telah membawa kaum Muslimin mencapai puncak dan batas tak tertandingi dalam ketegarannya? Bagaimana mungkin mereka bisa bersabar menghadapi penindasan demi penindasan yang membuat bulu roma merinding dan membuat hati gemetar begitu mendengarnya?

1.keimanan Kepada Allah

Sesungguhnya faktor utama adalah keimanan kepada Allah –subhanahu wata'ala- semata, dan mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Keimanan yang mantap bila telah menyelinap ke sanubari dapat menjadi setimbang gunung dan tidak akan goyah. Orang yang memiliki keimanan yang kokoh dan keyakinan yang mantap seperti ini akan memandang kesulitan duniawi sebesar, sebanyak dan serumit apa pun jika dibandingkan dengan keimanannya ibarat lumut-lumut yang diapungkan oleh air bah yang berusaha menghancurkan bendungan kuat dan benteng yang kokoh, maka dia tidak akan mmempedulikan rintangan apa pun lagi karena telah mengenyam manisnya iman, segarnya ketaatan serta cerianya keyakinan. Allah –subhanahu wata'ala- berfirman:

Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya. Adapun yang memberi manfaat kepada manusia maka ia tetap di bumi. (ar-Ra'd: 17).

Dari sebab utama ini kemudian berkembang dan beralih pada sebab-sebab lain yang semuanya tidak lain akan menguatkan ketegaran dan kesabaran tersebut.

2.Kepemimpinan yang Diidolakan  Setiap Hati

Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- adalah sosok seorang pemimpin tertinggi umat Islam, bahkan seluruh manusia. Beliau memiliki keindahan fisik, jiwa yang sempurna, akhlak luhur, sifat-sifat yang terhormat dan ciri fisik yang agung, yang mana hal ini dapat menyebabkan hati menjadi tertawan dan membuat jiwa rela berjuang untuknya sampai tetes darah terakhir. Kesempurnaan yang  dianugerahkan kepadanya tersebut tidak pernah dianugerahkan kepada siapa pun. Beliau menempati posisi puncak dalam derajat sosial, keluhuran budi, kebaikan dan keutamaan. Demikian pula dari sisi kesucian diri, amanah, kejujuran dan semua jalan-jalan kebaikan, tidak ada yang menandinginya. Jangankan oleh para pecinta dan sahabat karib beliau, musuh-musuhnya pun tidak meragukan lagi hal itu. Ungkapan yang pernah terlontarkan dari mulut beliau pastilah membuat mereka langsung meyakini kejujuran dan kebenarannya.

Suatu ketika, tiga orang tokoh Quraisy berkumpul, masing-masing dari mereka ternyata sudah pernah mendengarkan al-Qur'an secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh dua temannya yang lain, namun kemudian rahasia itu terungkap. Salah seorang dari mereka bertanya kepada Abu Jahal –yang merupakan salah seorang dari ketiga orang tersebut-: bagaimana pendapatmu mengenai apa yang engkau dengar dari Muhammad tersebut?

Dia menjawab: apa yang telah aku dengar? Memang kami telah berselisih dengan Bani Abdi Manaf dalam persoalan derajat sosial; manakala mereka memberi makan, maka kami pun memberi makan, mereka menganggung sesuatu kami pun ikut menanggungnya, mereka memberi kami pun ikut memberi, hingga akhirnya kami sejajar di atas tunggangan yang sama (setara derajatnya) dan ibarat dua orang yang bertarung secara seimbang, tiba-tiba mereka berkata: kami memiliki Nabi yang membawa wahyu dari langit! Kapan kami mengetahui hal ini? Demi Allah! Kami tidak akan beriman  kepadanya sampai kapan pun dan tidak akan membenarkannya.

Abu Jahal pernah berkata: wahai Muhammad! Sesungguhnya kami tidak pernah mendustakanmu, akan tetapi kami mendustakan apa yang engkau bawa. Lalu turunlah ayat:

Sebenarnya mereka bukan mendustakanmu, tapi orang-orang yang zhalim itu mengingkari ayat-ayat Allah. (al-An'am: 33).

Suatu ketika kaum kafir mempermainkan beliau –shallallahu 'alaihi wasallam- dengan saling mengerlingkan mata di antara mereka. Mereka melakukan itu hingga tiga kali. Pada kali ketiga barulah beliau –shallallahu 'alaihi wasallam- menanggapi, seraya berkata: wahai kaum Quraisy! Sungguh aku datang membawakan sembelihan untuk kalian. Ucapan beliau ini berhasil mengalihkan konsentrasi mereka, bahkan orang yang paling kasar di antara mereka sempat memberikan ucapan kepada beliau dengan sebaik-baik ucapan yang pernah beliau dapatkan.

Ketika suatu saat mereka melemparkan kotoran unta ke arah kepala beliau saat sedang sujud, beliau mendoakan kebinasaan atas mereka. Tawa yang tadinya menyeringai di bibir mereka seketika berubah menjadi kegundahan dan kecemasan karena mereka merasa yakin pasti akan benar-benar binasa.

Beliau –shallallahu 'alaihi wasallam- mendoakan kebinasaan atas Utbah bin Abi Lahab, sehingga dia senantiasa merasa yakin akan terjadinya apa yang didoakan oleh beliau terhadapnya. Maka tatkala dia melihat seekor singa, serta merta dia bergumam: demi Allah! Dia (Muhammad) telah membunuhku padahal dia berada di Makkah.

Ubay bin Khalaf pernah mengancam akan membunuh beliau, namun beliau menantangnya: akulah yang akan membunuhmu, jika Allah perkenankan. Maka, pada perang Uhud tatkala beliau –shallallahu 'alaihi wasallam berhasil mencederai Ubay di bagian lehernya, yakni goresan yang tidak terlalu lebar, Ubay berkata: sesungguhnya apa yang diucapkannya di Makkah di hadapanku dulu, akulah yang akan membunuhmu, telah terjadi. Demi Allah! Andai dia meludah saja ke arahku, niscaya itu akan dapat membunuhku.

Sa'ad bin Mu'adz pernah berkata –saat berada di Makkah- kepada Umayyah bin Khalaf: sungguh aku telah mendengar Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: sesungguhnya mereka (kaum Muslimin) akan membunuhmu.

Mendengar ucapan ini dia tampak sangat takut sekali dan berjanji untuk tidak akan keluar dari Makkah. Ketika dia dipaksa Abu Jahal untuk ikut serta dalam perang Badar, dia membeli unta yang paling bagus di Makkah agar dapat digunakannya bila suatu ketika akan kabur. Saat itu istrinya berkata padanya: wahai Abu Shafwan! Apakah engkau lupa apa yang dikatakan saudaramu dari Yatsrib tersebut? Dia menjawab: demi Allah, bukan demikian, tetapi aku tidak akan mau berhadapan langsung dengan mereka kecuali memang jaraknya benar-benar sudah dekat.

Demikian kondisi musuh-musuh Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam-.

Adapun kondisi para sahabat dan rekan-rekan beliau lain lagi. Kedudukan beliau di sisi mereka ibarat ruh dan jiwa, dan semua urusan beliau menempati hati dan mata mereka. Cinta yang tulus terhadap diri beliau mengalir bak aliran air ke dataran rendah. Keterpikatan hati mereka terhadap beliau laksana daya tarik magnet terhadap besi.

Oleh karena itu sebagai implikasi dari rasa cinta dan siap mati ini, mereka menjadi tidak gentar meskipun taruhannya leher harus terpenggal, asalkan kuku beliau tidak terkelupas atau kaki beliau tidak tertusuk duri.

Suatu hari ketika sedang berada di Makkah, Abu Bakar bin Abi Quhafah pernah diinjak dan dipukuli dengan keras. Kemudian datanglah Utbah bin Rabi'ah mendekatinya lalu memukulinya dengan kedua terompahnya yang tebal dan melayangkannya ke arah wajahnya, lalu dia melompat hingga jatuh tepat di atas perutnya, hingga membuatnya penuh dengan luka. Setelah itu dia dibawa oleh suku Bani Taim dengan memasukannya ke sebuah kain kemudian membawanya ke rumahnya. Mereka tidak meragukan lagi bahwa dia pasti sudah tewas. Saat hari beranjak sore, dia tersadar dan berbicara: Bagaimana keadaan Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam-? Lantas mereka mencibirnya denga lisan mereka dan mengumpatnya, kemudian mereka berdiri dan berkata kepada ibunya, Ummul Khair: terserah apa yang akan engkau lakukan; memberinya minum atau makan.

Ketika sang ibu hanya tinggal berdua saja dengan anaknya, dia membujuknya agar mau makan atau minum. Tetapi justru sang anak malah berkata: bagaimana keadaan Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam-?

Ibunya menjawab: demi Allah!  Aku tidak tahu sama sekali tentang sahabatmu itu.

Dia berkata: kalau begitu, pergilah untuk menjumpai Ummu Jamil binti Khaththab, lalu tanyakanlah kepadanya.

Sang ibu pun pergi untuk menemui Ummul Jamil, lantas berkata: sesungguhnya Abu Bakar bertanya kepadamu tentang Muhammad bin Abdullah.

Dia menjawab: aku tidak kenal siapa Abu Bakar dan juga Muhammad bin Abdullah, namun jika engkau ingin aku akan menyertaimu untuk menemui anakmu, aku bersedia melakukannya. Dia menjawab: baiklah.

Keduanya pun berlalu hingga mendapati Abu Bakar dalam keadaan terkapar tak berdaya. Ummu Jamil mendekatinya seraya berteriak: demi Allah, sesungguhnya kaum yang melakukan tindakan ini terhadapmu adalah orang-orang yang fasik dan kafir. Sungguh aku berharap semoga Allah membalaskan untukmu terhadap mereka.

Abu Bakar berkata: bagaimana keadaan Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam-?

Ummu Jamil berkata: ini ibumu ikut mendengarkan.

Dia berkata: engkau tidak uasah khawatir terhadapnya.

Ummu Jamil berkata: beliau –shallallahu 'alaihi wasallam- dalam keadaan sehat dan bugar.

Dia bertanya: dimana beliau sekarang?

Ada di rumah Ibnul Arqam, jawabnya.

Abu Bakar berkata: aku bersumpah kepada Allah untuk tidak mencicipi makanan dan minuman hingga aku mendatangi Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam-.

Keduanya pun mengulur-ulur waktu sejenak, hingga saat kondisi Abu Bakar sudah stabil, dan kasak-kusuk orang sudah mulai sepi, keduanya berangkat keluar membawaya dengan dipapah, lalu dipertemukanlah dia dengan Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam-.