Faktor Pendorong Kesabaran dan Ketegaran Kaum Muslimin. (Bagian 1)
Seorang yang berhati lembut akan
berdiri tercengang, dan para cendikiawan akan saling bertanya di antara mereka:
apa sebenarnya sebab-sebab dan faktor-faktor yang telah membawa kaum Muslimin
mencapai puncak dan batas tak tertandingi dalam ketegarannya? Bagaimana mungkin
mereka bisa bersabar menghadapi penindasan demi penindasan yang membuat bulu roma
merinding dan membuat hati gemetar begitu mendengarnya?
Sesungguhnya faktor utama adalah
keimanan kepada Allah –subhanahu wata'ala- semata, dan mengenal Allah dengan
sebenar-benarnya. Keimanan yang mantap bila telah menyelinap ke sanubari dapat
menjadi setimbang gunung dan tidak akan goyah. Orang yang memiliki keimanan
yang kokoh dan keyakinan yang mantap seperti ini akan memandang kesulitan
duniawi sebesar, sebanyak dan serumit apa pun jika dibandingkan dengan
keimanannya ibarat lumut-lumut yang diapungkan oleh air bah yang berusaha
menghancurkan bendungan kuat dan benteng yang kokoh, maka dia tidak akan
mmempedulikan rintangan apa pun lagi karena telah mengenyam manisnya iman,
segarnya ketaatan serta cerianya keyakinan. Allah –subhanahu wata'ala-
berfirman:
Adapun buih itu akan hilang sebagai
sesuatu yang tak ada harganya. Adapun yang memberi manfaat kepada manusia maka
ia tetap di bumi. (ar-Ra'd: 17).
Dari sebab utama ini kemudian
berkembang dan beralih pada sebab-sebab lain yang semuanya tidak lain akan
menguatkan ketegaran dan kesabaran tersebut.
2.Kepemimpinan yang Diidolakan Setiap Hati
Rasulullah –shallallahu 'alaihi
wasallam- adalah sosok seorang pemimpin tertinggi umat Islam, bahkan seluruh
manusia. Beliau memiliki keindahan fisik, jiwa yang sempurna, akhlak luhur,
sifat-sifat yang terhormat dan ciri fisik yang agung, yang mana hal ini dapat
menyebabkan hati menjadi tertawan dan membuat jiwa rela berjuang untuknya
sampai tetes darah terakhir. Kesempurnaan yang dianugerahkan kepadanya tersebut tidak pernah
dianugerahkan kepada siapa pun. Beliau menempati posisi puncak dalam derajat
sosial, keluhuran budi, kebaikan dan keutamaan. Demikian pula dari sisi
kesucian diri, amanah, kejujuran dan semua jalan-jalan kebaikan, tidak ada yang
menandinginya. Jangankan oleh para pecinta dan sahabat karib beliau,
musuh-musuhnya pun tidak meragukan lagi hal itu. Ungkapan yang pernah
terlontarkan dari mulut beliau pastilah membuat mereka langsung meyakini
kejujuran dan kebenarannya.
Suatu ketika, tiga orang tokoh
Quraisy berkumpul, masing-masing dari mereka ternyata sudah pernah mendengarkan
al-Qur'an secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh dua temannya yang lain,
namun kemudian rahasia itu terungkap. Salah seorang dari mereka bertanya kepada
Abu Jahal –yang merupakan salah seorang dari ketiga orang tersebut-: bagaimana
pendapatmu mengenai apa yang engkau dengar dari Muhammad tersebut?
Dia menjawab: apa yang telah aku
dengar? Memang kami telah berselisih dengan Bani Abdi Manaf dalam persoalan
derajat sosial; manakala mereka memberi makan, maka kami pun memberi makan,
mereka menganggung sesuatu kami pun ikut menanggungnya, mereka memberi kami pun
ikut memberi, hingga akhirnya kami sejajar di atas tunggangan yang sama (setara
derajatnya) dan ibarat dua orang yang bertarung secara seimbang, tiba-tiba
mereka berkata: kami memiliki Nabi yang membawa wahyu dari langit! Kapan kami
mengetahui hal ini? Demi Allah! Kami tidak akan beriman kepadanya sampai kapan pun dan tidak akan
membenarkannya.
Abu Jahal pernah berkata: wahai
Muhammad! Sesungguhnya kami tidak pernah mendustakanmu, akan tetapi kami
mendustakan apa yang engkau bawa. Lalu turunlah ayat:
Sebenarnya mereka bukan
mendustakanmu, tapi orang-orang yang zhalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.
(al-An'am: 33).
Suatu ketika kaum kafir
mempermainkan beliau –shallallahu 'alaihi wasallam- dengan saling mengerlingkan
mata di antara mereka. Mereka melakukan itu hingga tiga kali. Pada kali ketiga
barulah beliau –shallallahu 'alaihi wasallam- menanggapi, seraya berkata: wahai
kaum Quraisy! Sungguh aku datang membawakan sembelihan untuk kalian. Ucapan
beliau ini berhasil mengalihkan konsentrasi mereka, bahkan orang yang paling
kasar di antara mereka sempat memberikan ucapan kepada beliau dengan
sebaik-baik ucapan yang pernah beliau dapatkan.
Ketika suatu saat mereka melemparkan
kotoran unta ke arah kepala beliau saat sedang sujud, beliau mendoakan
kebinasaan atas mereka. Tawa yang tadinya menyeringai di bibir mereka seketika
berubah menjadi kegundahan dan kecemasan karena mereka merasa yakin pasti akan
benar-benar binasa.
Beliau –shallallahu 'alaihi
wasallam- mendoakan kebinasaan atas Utbah bin Abi Lahab, sehingga dia
senantiasa merasa yakin akan terjadinya apa yang didoakan oleh beliau
terhadapnya. Maka tatkala dia melihat seekor singa, serta merta dia bergumam:
demi Allah! Dia (Muhammad) telah membunuhku padahal dia berada di Makkah.
Ubay bin Khalaf pernah mengancam
akan membunuh beliau, namun beliau menantangnya: akulah yang akan membunuhmu,
jika Allah perkenankan. Maka, pada perang Uhud tatkala beliau –shallallahu 'alaihi
wasallam berhasil mencederai Ubay di bagian lehernya, yakni goresan yang tidak
terlalu lebar, Ubay berkata: sesungguhnya apa yang diucapkannya di Makkah di hadapanku
dulu, akulah yang akan membunuhmu, telah terjadi. Demi Allah! Andai dia meludah
saja ke arahku, niscaya itu akan dapat membunuhku.
Sa'ad bin Mu'adz pernah berkata –saat
berada di Makkah- kepada Umayyah bin Khalaf: sungguh aku telah mendengar
Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: sesungguhnya mereka (kaum Muslimin)
akan membunuhmu.
Mendengar ucapan ini dia tampak
sangat takut sekali dan berjanji untuk tidak akan keluar dari Makkah. Ketika dia
dipaksa Abu Jahal untuk ikut serta dalam perang Badar, dia membeli unta yang
paling bagus di Makkah agar dapat digunakannya bila suatu ketika akan kabur. Saat
itu istrinya berkata padanya: wahai Abu Shafwan! Apakah engkau lupa apa yang
dikatakan saudaramu dari Yatsrib tersebut? Dia menjawab: demi Allah, bukan
demikian, tetapi aku tidak akan mau berhadapan langsung dengan mereka kecuali memang
jaraknya benar-benar sudah dekat.
Demikian kondisi musuh-musuh
Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam-.
Adapun kondisi para sahabat dan
rekan-rekan beliau lain lagi. Kedudukan beliau di sisi mereka ibarat ruh dan
jiwa, dan semua urusan beliau menempati hati dan mata mereka. Cinta yang tulus
terhadap diri beliau mengalir bak aliran air ke dataran rendah. Keterpikatan hati
mereka terhadap beliau laksana daya tarik magnet terhadap besi.
Oleh karena itu sebagai implikasi
dari rasa cinta dan siap mati ini, mereka menjadi tidak gentar meskipun
taruhannya leher harus terpenggal, asalkan kuku beliau tidak terkelupas atau
kaki beliau tidak tertusuk duri.
Suatu hari ketika sedang berada di
Makkah, Abu Bakar bin Abi Quhafah pernah diinjak dan dipukuli dengan keras. Kemudian
datanglah Utbah bin Rabi'ah mendekatinya lalu memukulinya dengan kedua
terompahnya yang tebal dan melayangkannya ke arah wajahnya, lalu dia melompat
hingga jatuh tepat di atas perutnya, hingga membuatnya penuh dengan luka. Setelah
itu dia dibawa oleh suku Bani Taim dengan memasukannya ke sebuah kain kemudian
membawanya ke rumahnya. Mereka tidak meragukan lagi bahwa dia pasti sudah tewas.
Saat hari beranjak sore, dia tersadar dan berbicara: Bagaimana keadaan
Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam-? Lantas mereka mencibirnya denga
lisan mereka dan mengumpatnya, kemudian mereka berdiri dan berkata kepada
ibunya, Ummul Khair: terserah apa yang akan engkau lakukan; memberinya minum
atau makan.
Ketika sang ibu hanya tinggal berdua
saja dengan anaknya, dia membujuknya agar mau makan atau minum. Tetapi justru
sang anak malah berkata: bagaimana keadaan Rasulullah –shallallahu 'alaihi
wasallam-?
Ibunya menjawab: demi Allah! Aku tidak tahu sama sekali tentang sahabatmu
itu.
Dia berkata: kalau begitu, pergilah
untuk menjumpai Ummu Jamil binti Khaththab, lalu tanyakanlah kepadanya.
Sang ibu pun pergi untuk menemui
Ummul Jamil, lantas berkata: sesungguhnya Abu Bakar bertanya kepadamu tentang
Muhammad bin Abdullah.
Dia menjawab: aku tidak kenal siapa
Abu Bakar dan juga Muhammad bin Abdullah, namun jika engkau ingin aku akan
menyertaimu untuk menemui anakmu, aku bersedia melakukannya. Dia menjawab: baiklah.
Keduanya pun berlalu hingga
mendapati Abu Bakar dalam keadaan terkapar tak berdaya. Ummu Jamil mendekatinya
seraya berteriak: demi Allah, sesungguhnya kaum yang melakukan tindakan ini
terhadapmu adalah orang-orang yang fasik dan kafir. Sungguh aku berharap semoga
Allah membalaskan untukmu terhadap mereka.
Abu Bakar berkata: bagaimana keadaan
Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam-?
Ummu Jamil berkata: ini ibumu ikut
mendengarkan.
Dia berkata: engkau tidak uasah
khawatir terhadapnya.
Ummu Jamil berkata: beliau –shallallahu
'alaihi wasallam- dalam keadaan sehat dan bugar.
Dia bertanya: dimana beliau
sekarang?
Ada di rumah Ibnul Arqam, jawabnya.
Abu Bakar berkata: aku bersumpah
kepada Allah untuk tidak mencicipi makanan dan minuman hingga aku mendatangi
Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam-.