Rabu, 05 Oktober 2022

Pengertian Wawu Ma’iyyah dan Syarat Maf’ul Ma’ah

20.06 ,

Pengertian wawu ma’iyyah dan syarat maf’ul ma’ah. Pada bahasan kali ini kita akan sedikit berbicara panjang tentang maf’ul ma’ah, salah satu jenis maf’ul yang banyak ditanyakan. Apa pengertian maf’ul ma’ah? Apa maksud dan pengertian dari wawu ma’iyyah? Apa saja contoh kalimat maf’ul ma’ah baik dari al-Quran ataupun dari selain al-Quran? Dan apa saja syarat-syarat dari maf’ul ma’ah ini? Silahkan baca keterangan terkait pengertian dan juga syarat dari maf’ul ma’ah pada artikel di bawah ini:

Pengertian Wawu Ma’iyyah dan Syarat Maf’ul Ma’ah

Pengertian Wawu Ma’iyyah dan Syarat Maf’ul Ma’ah

Pengertian Maf’ul Ma’ah

Maf’ul ma’ah adalah isim yang sifatnya tambahan (disebut dengan istilah : fadhlah), di mana ia bukan mubtada’ atau khobar atau apa yang dihukumi sama dengan mubtada’ dan khobar.

Maf’ul ma’ah ini jatuh setelah wawu ma’iyyah yang didahului oleh fi’il dan fa’il atau yang semisal dengan fi’l, wawu ma’iyyah ini menunjukkan persamaan waktu terjadinya isim yang berada setelah wawu ma’iyyah dengan isim yang berada sebelumnya. jadi dapat dikatakan bahwa wawu ma’iyyah adalah wawu yang maknanya mushahabah yang berarti bersama.

Syarat-syarat Maf’ul Ma’ah

Ada sebanyak 3 syarat agar isim yang berada setelah wawu ma’iyyah di nasobkan sebagai maf’ul ma’ah sebagai berikut:

Isim yang jatuh setelah wawu ma’iyyah ini haruslah fadhlah (isim yang posisinya sebagai tambahan saja) bukan sebagai komponen asasi dalam jumlah/kalimat, bukan sebagai mubtada’ atau khobar, bukan sebagai fi’l atau fa’il bahkan jumlah atau kalimat bahasa arab bersangkutan bisa dipahami dan bisa dimengerti tampa menyebutkan isim yang berposisi sebagai maf’ul ma’ah ini.

Adapun jika isim yang jatuh setelah wawu ma’iyyah ini mempunyai posisi asasi dalam suatu kalimat bahasa arab maka tak bisa dijadikan sebagai maf’ul ma’ah, sebagai contoh kalimat:


ذهب ابراهيمُ وسليمان


Dzahaba ibrahimu wa sulaimanu


Ibrahim dan sulaiman telah pergi


Kata sulaiman di sini tak bisa dijadikan sebagai maf’ul ma’ah, karena ia adalah salah satu bagian asasi dari sebuah kalimat, ia di sini harus diposisikan sebagai ma’tuf kepada kata Ibrahim dan wawu di sini bukanlah wawu ma’iyyah akan tetapi ia adalah wawu athaf.


Kata Ibrahim pada kalimat di atas mempunyai posisi urgen dan penting pada kalimat tersebut dan kalimat tak akan bisa dipahami tanpa keberadaannya yaitu sebagai fa’il (subjek atau pelaku) sedangkan kata Sulaiman posisinya sama dengan Ibrahim (karena dia di ma’tufkan kepada fa’il yaitu Ibrahim maka hukumnya sama dengan Ibrahim ini seabagai fa’il).


Isim yang jatuh sebelum wawu haruslah jumlah bukan mufrad (sendiri bukan jumlah) atau dengan kata lain sebelum wawau ma’iyyah itu harus jumlah mufidah, apabila setelah wawu ma’iyyah bukan jumlah mufidah maka saat itu wawu bukanlah wawu ma’iyyah dan yang setelahnya bukanlah maf’ul ma’ah seperti kalimat ini:


كلُّ طالب وقلمه


Kullu tholibin wa kolamuhu

Artinya : Setiap siswa selalu bersama polpennya.

Artikel Lain: 47 Kosakata Bahasa Arab Untuk Anak TK

Pada kalimat di atas isim yang berada sebelum wawu bukanlah jumlah akan tetapi berupa mufrad maka bukan wawu ma’iyyah akan tetapi isim tersebut ma’thuf kepada mubtada’ sebelumnya yaitu kata “kullu” sehingga khobarnya bisa di-takdirkan dengan kata “muqtarinan” yang artinya selalu bersama:


كلُّ طالب وقلمه مقترنان


Kullu tolibin wa qolamuhu muqtarinan


Artinya: setiap siswa/penuntut ilmu selalu bersama pulpen/ballpoinnya.


Wawu yang mendahului isim yang berada sebelum maf’ul ma’ah itu bermakana “ma’a” yang artinya bersama, jika maknanya bukan “ma’a”/bersama maka isim yang setelahnya bukanlah maf’ul ma’ah, ketika kita mendatangkan kalimat bahasa arab:


جاءَ عمادٌ وسليمٌ قبلَه أو بَعْدَهُ


Ja’a imaad wa salim qoblahu aw ba’dahu


Imad dan salim telah datang sebelum atau sesudahnya


Pada kalimat ini wawu yang ada di situ bukanlah wawu ma’iyyah, mengapa? Karena tidak cocok dimaknai “bersama” bahkan jika dimaknakan “bersama” maka makna kalimatnya akan menjadi rusak dan tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh pembicara. Sebagaimana halnya jika wawu tersebut juga bermakna hal / menjadi wawu hal, seperti kalimat ini:


نَزَلَ الثلج والشّمْسُ طَالِعَةٌ


Nazala as-Tsalju was syamsu toli’ah


Salju itu turun dalam keadaan matahari terbit


Di sini wawu-nya tak cocok diartikan ma’a/bersama akan tetapi cocok diartikan sedangkan maka ia bukan wawu ma’iyyah akan tetapi wawu hal, begitu juga contoh lainnya dari al-Quran:


أو كالذي مَرّ على قريةٍ وهي خاويةٌ على عروشِهَا


Wawu pada contoh ayat al-quran di atas pada kata “wa hiya…” bukan wawu ma’iyyah akan tetapi wawu hal.


Hukum yang Berkaitan Dengan Maf’ul Ma’ah


Maf’ul ma’ah i’rabnya adalah nashob, dan amil nashobnya bisa berupa:


Fi’il, contohnya dalam kalimat bahasa arab:


سرت وانهرَ


Kata : an-Nahra adalah maf’ul ma’ah amilnya adalah fi’il “sirtu”.


Yang mirip dengan fi’il seperti:


---> Isim fa’il, contohnya:


الظِلُّ مائلٌ والشَجَرَ


----> Isim maf’ul, contohnya:


الحَدِيقَةُ مستعملة وشَجَرهَا


-----> Masdar, contohnya:


يَسُرني حُضُورُكَ والأصدقاء


Maf’ul ma’ah tidak boleh mendahului amilnya, seperti kalimat:


والنَّهْرَ سَارَ المسافر


Jumlah/kalimat ini tidak benar karena maf’ul ma’ah yaitu an-nahra mendahului amilnya, yang benar adalah :


سار المسافر والنهر


Nah, demikian dulu bahasan kami kali ini tentang maf’ul ma’ah dengan judul atau tema pengertian wawu ma’iyyah dan syarat maf’ul ma’ah. Semoga bermanfaat dan berkenan.