Senin, 22 Januari 2024

Khadijah Berpulang ke Rahmatullah

23.07

 Khadijah Berpulang ke Rahmatullah

Setelah dua bulan atau tiga bulan setelah wafatnya Abu Thalib, Ummul Mu'minin, Khadijah al-Kubra –radhiyallahu 'anha- pun wafat. Tepatnya pada bulan Ramadhan tahun ke 10 kenabian dalam usia 65 tahun, sedangkan Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- ketika itu berusia 50 tahun.

Sosok Khadijah merupakan nikmat Allah yang paling besar bagi Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam-. Selama seperempat abad beliau hidup bersamanya, dia senantiasa menghibur beliau di saat beliau cemas, memberi dorongan di saat-saat paling kritis, menyokong penyampaian risalahnya, mendampingi beliau dalam rintangan jihad yang amat pahit, dan selalu membela beliau baik dengan jiwa mau pun hartanya.

Dalam rangka mengenang jasanya tersebut Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- sering bertutur: dia telah beriman kepadaku saat manusia kufur (ingkar) kepadaku, dia membenarkanku di saat manusia mendustakan, dia berikan kepadaku hartanya di saat manusia tidak mau memberikannya kepadaku, Allah mengaruniakan kepadaku anak darinya, sementara Dia tidak menganugerahkannya dari istri yang lain.

Di dalam kitab Shahih al-Bukhari dari Abu Hurairah dia berkata: Jibril –alaihissalam- mendatangi Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- seraya berkata: wahai Rasulullah! Ini Khadijah, dia telah datang dengan membawa bejana, di dalamnya ada lauk-pauk, makanan dan minuman, bila nanti dia mendatangimu, maka sampaikan salam Rabbnya kepadanya, serta beritakan kepadanya kabar gembira perihal istana untuknya di surga yang terbuat dari mutiara, yang tidak ada kebisingan maupun rasa lelah di dalamnya.

Dua peristiwa yang menyedihkan yakni wafatnya paman beliau Abu Thalib dan istri beliau Khadijah berlangsung dalam waktu yang sangat berdekatan, sehingga perasaan sedih dan pilu menyayat-nyayat hati Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam-, kemudian cobaan demi cobaan terus berdatangan secara beruntun dari kaumnya. Sepeninggal Abu Thalib nampaknya mereka semakin lancang terhadap beliau, mereka dengan terang-terangan menyiksa dan menyakiti beliau. Maka bertambahlah kesedihan yang dialaminya, yang mana membuat beliau hampir berputus asa untuk mendakwahi mereka. Karenanya beliau pergi menuju kota Thaif dengan harapan penduduknya mau menerima dakwah beliau, melindungi dan menolong beliau melawan perlakuan kaumnya. Namun beliau sama sekali tidak melihat ada seorang pun yang mau melindungi dan menolongnya, bahkan sebaliknya mereka menyiksa dan memperlakukan beliau dengan cara yang lebih sadis dari apa yang dilakukan kaumnya sendiri.

Siksaan yang begitu keras tidak saja dialami Nabi –shallallahu 'alaihi wasallam- tetapi para sahabat beliau pun ikut mendapatkan jatah. Hal ini membuat teman akrab beliau Abu Bakar ash-Shiddiq –radhiyallahu 'anhu- berhijrah meninggalkan Makkah. Maka dia pun berjalan hingga mencapai suatu tempat yang bernama Bark al-Ghumad dengan tujuan utama ke arah Habasyah, namun Ibnu ad-Daghinnah membawanya kembali dan memberinya perlindungan.

Ibnu Ishaq berkata: ketika Abu Thalib wafat, kaum Quraisy menyiksa Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- dengan siksaan yang semasa hidup Abu Thalib tidak berani mereka lakukan. Lebih dari itu, salah seorang begundal Quraisy menghalangi jalan beliau, lalu menaburi kepala beliau dengan debu. Tatkala beliau masuk rumah dalam kondisi demikian, salah seorang putri beliau menyongsong beliau dan membersihkan debu tersebut sambil menangis. Beliau berkata: jangan menangis duhai anakku! Sesungguhnya hanya Allah lah Yng akan menolong ayahandamu.

Ibnu Ishaq melanjutkan, beliau selalu berkata bila mengingat hal itu: tidak pernah aku mendapatkan suatu perlakuan yang tidak aku sukai dari Quraisy hingga Abu Thalib wafat.

Dikarenakan beruntunnya kesedihan demi kesedihan pada tahun ini, maka kemudian dinamakan dengan Tahun Kesedihan yang dikenal dalam buku-buku Sirah dan Tarikh.