Selasa, 16 Januari 2024

masuk Islamnya Umar bin al-Khaththab –radhiyallahu 'anhu-

22.27

masuk Islamnya Umar bin al-Khaththab –radhiyallahu 'anhu-

umar bin al-Khaththab masuk Islam pada bulan Dzulhijjah tahun keenam kenabian, yaitu tiga hari setelah keislaman Hamzah bin Abdul Muththalib –radhiyallahu 'anhu-. Nabi –shallallahu 'alaihi wasallam- memang telah berdo'a kepada Allah agar dia masuk Islam, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Ibnu Umar dan hadits yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dari Ibnu Mas'ud dan Anas –radhiyallahu 'anhuma- bahwasannya Nabi –shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

Ya Allah, muliakanlah Islam ini dengan salah seorang dari dua orang yang lebih Engkau cintai; Umar bin al-Khaththab atau Abu Jahal bin Hisyam.

Sebelum masuk islam, Umar bin Khaththab dikenal sebagai seorang yang temperamental dan memiliki harga diri yang tinggi. Sangat banyak kaum Muslimin yang merasakan beragam penganiayaan yang dilakukannya terhadap mereka. Sebenarnya telah terjadi pertentangan batin dalam dirinya, namun di satu sisi dia harus menghormati tatanan adat yang telah dibuat oleh nenek moyangnya, tapi di sisi yang lain dia kagum terhadap mental baja kaum Muslimin dalam menghadapi berbagai cobaan demi menjaga akidah mereka. Sisi yang lainnya lagi adalah timbulnya berbagai keraguan dalam dirinya, sementara sebagai seorang yang pandai dia beranggapan bahwa apa yang diseru oleh Islam bisa saja lebih agung dan suci dari agama selainnya.

Pada suatu malam saat Umar bin al Khaththab bermalam di luar rumahnya, ia pergi menuju Masjid  Haram dan masuk ke dalam tirai Ka'bah. Saat itu Nabi –shallallahu 'alaihi wasallam tengah berdiri melakukan shalat dan membaca surat al-Haqqah. Pemandangan itu dimanfaatkan oleh Umar untuk mendengarkannya dengan khusyu' sehingga membuatnya terkesan dengan susunannya, dia berkata: aku berkata pada diriku, Demi Allah! Benar, ini tukang syair sebagaimana yang dikatakan orang-orang Quraisy! Lalu beliau –shallallahu 'alaihi wasallam- membaca ayat:

Sesungguhnya al-Qur'an itu benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia, dan al-Qur'an bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kalian beriman kepadanya (al-Haqqah: 40-41)

Lantas aku berkata pada diriku: kalau begitu dia tukang tenung. Lantas beliau –shallallahu 'alaihi wasallam- meneruskan bacaannya:

Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kalian mengambil pelajaran darinya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Rabb semesta alam (al-Haqqah: 42-42) kemudian beliau melanjutkan bacaannya hingga akhir surat tersebut. Maka ketika itulah Islam memasuki relung hatiku.

Inilah awal benih Islam yang memasuki relung hatu Umar bin al-Khaththab. Tetapi kulit luar sentimental Jahiliyyah dan fanatisme terhadap tradisi serta kebanggan akan agama nenek moyang justru mengalahkan hakikat yang dibisikan oleh hatinya. Sehingga dia tetap bersikeras dalam upayanya melawan Islam, tanpa menghiraukan perasaan yang bersemayam di dalam hatinya.

Di antara bukti nyata kekerasan wataknya dan rasa permusuhan yang sudah di luar batas terhadap Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- adalah saat suatu hari dia keluar sambil meghunus pedang hendak membunuh beliau –shallallahu 'alaihi wasallam-. Ketika itu dia bertemu dengan Nu'aim bin Abdullah an-Nahham al-Adawi dari suku Bani Zuhrah, orang tersebut bertanya: hendak kemana engkau wahai Umar?

Dia menjawab: aku ingin membunuh Muhammad.

Orang tersebut bertanya lagi: kalau Muhammad engkau bunuh, bagaimana engkau akan merasa aman dari kejaran Bani Hasyim dan Bani Zuhrah?

Umar menjawab: aku rasa engkau sudah menjadi penganut agama dan telah keluar dari agamamu.

Orang itu berkata kepadanya: maukah aku tunjukkan kepadamu yang lebih mengejutkanmu lagi wahai Umar? Sesungguhnya adik perempuanmu dan iparmu juga telah menjadi penganut agama baru dan meninggalkan agama yang sekarang engkau peluk.

Mendengar hal itu Umar dengan segera berangkat mencari keduanya, dan saat dia menjumpai mereka, di sana dia dapati Khabbab bin al-Aratt yang membawa shahifah (lembaran al-Qur'an) bertuliskan surat Thaha dan membacakan untuk keduanya. Tatkala Khabbab mendengar langkah Umar, dia menyelinap ke bagian belakang rumah, sedangkan adik perempuan Umar menutupi Shahifah tersebut. Ketika mendekati rumah, Umar telah mendengar Khabbab membacakan ayat untuk mereka berdua, karenanya saat masuk dia langsung bertanya: apa gerangan suara bisik-bisik yang aku dengar dari kalian?

Keduanya menjawab: tidak ada apa-apa, hanya sekedar perbincangan di antara kami.

Dia berkata lagi: nampaknya kalian berdua sudah menjadi penganut agama baru.

Iparnya berkata: wahai Umar! Bagaimana pendapatmu jika kebenaran itu berada pada selain agamamu?

Mendengar itu Umar langsung melompat ke arah iparnya tersebut lalu meginjak-injaknya dengan keras. Lantas adik perempuannya datang dan mengangkat suaminya menjauh darinya, namun justru dia ditampar oleh Umar hingga darah mengalir dari wajahnya. Adik perempuannya berkata dengan penuh kemarahan: wahai Umar! Jika kebenaran ada pada selain agamamu, maka aku bersaksi bahwa tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.

Manakala Umar merasa putus asa dan menyaksikan kondisi adiknya yang berdarah, dia menyesal dan merasa malu, lalu berkata: berikan tulisan yang ada di tangan kalian tersebut kepadaku agar aku dapat membacanya.

Saudara perempuannya berkata: sesungguhnya engkau itu najis, dan tidak boleh ada yang menyentuhnya melainkan orang-orang yang suci. Bangkitlah dan mandilah dulu! Kemudian dia bangkit dan mandi, lalu mengambil tulisan tersebut dan membaca: Bismillahirrahmanirrahim. Dia bergumam: sungguh nama-nama yang baik dan suci. Kemudian dia melanjutkan dan membaca surat Thaha hingga sampai pada firman Allah –subhanahu wata'ala-:

Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah (yang haq) selain Aku, maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingatku. (Thaha: 14).

Dia bergumam lagi: alangkah indah dan mulianya Kalam ini! Kalau begitu, tolong bawa aku ke hadapan Muhammad!

Saat Khabbab mendengar ucapan Umar, dia segera keluar dari persembunyiannya seraya berkata: wahai Umar bergembiralah, karena sesungguhnya aku berharap engkaulah yang dimaksud dalam do'a Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- pada malam kamis: Ya Allah muliakanlah Islam dengan salah seorang dari dua orang yang paling Engkau cintai; Umar bin al-Khaththab atau Abu Jahal bin Hisyam.

Sementara saat itu Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- sedang berada di rumah yang terletak di kaki bukit Shafa.

Umar mengambil pedangnya seraya menghunusnya, lalu berangkat hingga tiba di rumah tempat beliau –shallallahu 'alaihi wasallam- berada. Dia mengetuk pintu, lalu seorang penjaga pintu mengintip dari celah-celah pintu tersebut dan melihatnya menghunus pedang. Penjaga tersebut kemudian melaporkan hal itu kepada Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam-. Para sahabat yang berjaga bersiaga penuh mengantisipasinya. Gelagat mereka tersebut mengundang tanda tanya Hamzah: ada apa gerangan dengan kalian?

Mereka menjawab: Umar!

Dia berkata: lalu ada apa dengan Umar! Bukakan pintu untuknya! Jika dia datang dengan niat baik, kita akan membantunya, akan tetapi jika dia datang dengan niat jahat, kita akan membunuhnya dengan pedangnya sendiri.

Saat itu Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam masih di dalam rumah dan sedang menerima wahyu, kemudian beliau pun keluar menyongsongnya dan menjumpainya di bilik. Beliau mencengkeram kerah baju dan gagang pedangnya, lalu menariknya dengan keras seraya bersabda: tidakkah engkau berhenti dari tindakanmu wahai Umar, hingga Allah menghinakanmu dan menimpakan bencana kepadamu sebagaimana yang terjadi terhadap al-Walid bin al-Mughirah? Ya Allah! Inilah Umar bin al-Khaththab! Ya Allah! Muliakanlah Islam dengan Umar bin al-Khaththab!.

Maka Umar berkata: Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan (Yang berhak disembah) selain Allah dan engkau adalah utusan Allah.

 Dengan demikian maka dia telah masuk Islam, dan disambut dengan pekikan takbir oleh penghuni rumah sehingga terdengar oleh orang-orang yang berada di Masjid Haram.