Jumat, 19 Januari 2024

Pemboikotan yang Menyeluruh

16.46

 Pemboikotan yang Menyeluruh

Setelah segala cara sudah ditempuh namun tidak membuahkan hasil juga, kepanikan kaum musyrikin mencapai puncaknya, ditambah lagi mereka mengetahui Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib bersikeras akan menjaga Nabi Muhammad –shallallahu 'alaihi wasallam- dan membelanya mati-matian apa pun resikonya.


Karena itu mereka berkumpul di kediaman Bani Kinanah yang terletak di lembah Mahshib dan bersumpah untuk tidak menikahi Bani Hasyim dan Bani Abdil Muththalib, tidak berjual-beli dengan mereka, tidak bergaul, berbaur memasuki rumah maupun berbicara dengan mereka hingga mereka menyerahkan Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- untuk dibunuh. Mereka mendokumentasikan hal tersebut di atas sebuah shahifah (lembaran) yang berisi perjanjian dan sumpah: bahwa mereka selamanya tidak akan menerima perdamaian dari Bani Hasyim dan tidak akan berbelas kasihan terhadap mereka kecuali bila mereka menyerahkannya (Rasulullah) untuk dibunuh.

Ibnul Qayyim berkata: ada riwayat yang mengatakan bahwa perjanjian itu ditulis oleh Manshur bin Ikrimah bin Amir bin Hasyim. Sementara riwayat lain mengatakan bahwa pernyataan itu ditulis oleh an-Nadhar bin al-Harits. Pendapat yang tepat bahwa yang menulisnya adalah Baghidh bin Amir bin Hasyim, lalu Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- mendoakan kebinasaan atasnya sehingga tangannya menjadi lumpuh.

Perjanjian itu pun dilaksanakan dan digantungkan di rongga Ka'bah, namun seluruh Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib baik yang masih kafir maupun yang sudah beriman kecuali Abu Lahab tetap berpihak untuk membela Rasulullah –shallallahu 'alaihi asallam-. Mereka akhirnya tertahan di celah bukit milik Abu Thalib pada malam pertama bulan Muharam tahun ke 7 kenabian.

Tiga Tahun di Celah Bukit Milik Abu Thalib

Pemboikotan semakin ditingkatkan sehingga bahan makanan dan persediaan pangan pun habis, sementara kaum musyrikin tidak membiarkan makanan apa pun yang masuk ke Makkah atau dijual kecuali mereka memborongnya. Tindakan ini membuat kondisi Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib semakin tertekan dan memprihatinkan sehingga mereka terpaksa memakan dedaunan dan kulit-kulit. Selain itu, jeritan kaum wanita dan tangis bayi-bayi yang mengerang kelaparan pun terdengar di balik celah bukit tersebut.

Tidak ada barang yang bisa sampai ke tangan mereka kecuali secara sembunyi-sembunyi, dan mereka pun tidak keluar untuk membeli kebutuhan-kebutuhan mereka kecuali pada al- Asyhur al Hurum (bulan-bulan yang diharamkan berperang). Mereka membelinya dari rombongan pedagang yang datang dari luar Makkah, akan tetapi penduduk Makkah melipatgandakan harga barang-barang kepada mereka beberapa kali lipat agar mereka tidak mampu membelinya.

Hakim bin Hizam pernah membawa gandum untuk diberikan kepada bibinya, Khadijah –radhiyallahu 'anha-, namun suatu ketika dia dihadang dan ditangkap oleh Abu Jahal guna mencegah upayanya. Namun Abul Bukhturi menengahi dan membuatnya lolos membawa gandum  tersebut kepada bibinya.

Di lain pihak Abu Thalib merasa khawatir terhadap keselamatan Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam-. Untuk itu dia biasanya meminta beliau untuk berbaring di tempat tidurnya bila orang-orang sudah beranjak ke tempat tidur masing-masing. Hal ini agar memudahkannya untuk mengetahui siapa yang hendak membunuh beliau. Dan manakala orang-orang sudah benar-benar tidur, ia memerintahkan salah satu putra-putranya, atau saudara-saudaranya, atau keponakan-keponakannya untuk tidur di tempat tidur Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- sementara beliau diminta untuk tidur di tempat tidur salah seorang dari mereka.

Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam dan kaum Muslimin keluar pada musim haji, menjumpai orang-orang dan mengajak mereka kepada Islam.