Jumat, 05 Januari 2024

Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- Kembali ke Pangkuan Sang Bunda

22.05

 

Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- Kembali ke Pangkuan Sang Bunda

Setelah peristiwa terbelahnya dada Rasulullah  -shallallahu 'alaihi wasallam- Halimah merasa khawatir atas diri beliau sehingga dia pun menggembalikannya kepada sang bunda. Beliau tinggal bersama ibundanya hingga berusia enam tahun.

Sebagai bentuk kesetiannya, Aminah ibunda Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- memandang perlu untuk menziarahi makam suaminya yakni Abdullah bin Abdul Muththalib di Yatsrib (Madinah). Untuk itu dia keluar dari Makkah dengan menempuh perjalanan yang mencapai 500 km bersama anaknya yang masih kecil, Muhammad - shallallahu 'alaihi wasallam- pembantunya yang bernama Ummu Aiman dan mertuanya, Abdul Muththolib. Setelah tinggal selama sebulan disana, dia kembali pulang ke Makkah, akan tetapi di tengah perjalanan dia terserang sakit sehingga akhirnya meninggal di suatu tempat bernama al-Abwa, yang terletak antara Makkah dan Madinah.

Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- di Masa Pengasuhan Sang Kakek

Rasulullah - shallallahu 'alaihi wasallam- dibawa kembali ke Makkah oleh kakeknya. Perasaan kasih terhadap sang cucu yang yatim semakin bertambah di sanubarinya, dan hal ini ditambah lagi dengan adanya musibah baru yang seakan menggores luka lama yang belum sembuh betul. Maka ibalah dia terhadapnya, sebuah perasaan yang tidak pernah tumpahkan terhadap seorang pun dari anak-anaknya. Dia tidak lagi membiarkan cucunya tersebut hanyut dengan kesendirian yang terpaksa harus dialaminya. Bahkan dia lebih mengedepankan kepentingannya daripada kepentingan anak-anaknya.

Ibnu Hisyam berkata: biasanya sudah terhampar permadani untuk Abdul Muththalib di bawah naungan Ka'bah, lalu anak-anaknya duduk-duduk di sekitar permadani tersebut hiangga ia datang, tak seorang pun dari anak-anaknya yang berani duduk-duduk di situ sebagai rasa hormat terhadapnya. Namun Rasulullah - shallallahu 'alaihi wasallam- pernah suatu ketika saat beliau berusia sekitar dua tahun, datang dan langsung duduk di atas permadani tersebut, paman-pamannya sertamerta mencegahnya agar tidak mendekati tempat itu. Bila kebetulan melihat tindakan anak-anaknya itu, Abdul Muththalib berkata kepada mereka: janganlah kau ganggu cucuku! Demi Allah! Sesungguhnya dia nanti akan menjadi orang yang besar!. Kemudian ia duduk bersama beliau di permadani tersebut sembari mengusap-usap punggungnya dengan tangannya. Dia merasa senang dengan kelakuan cucunya tersebut.

Saat beliau berusia delapan tahun dua bulan sepuluh hari, kakek beliau meninggal dunia di kota Makkah. sebelum meninggal dunia, dia memandang bahwa selayaknya dia menyerahkan tanggung jawabnya terhadap cucunya tersebut kepada paman beliau, Abu Thalib, saudara kandung ayahanda beliau.