Rasulullah
–shallallahu 'alaihi wasallam- di Masa Pengasuhan Sang Paman
Abu
Thalib melaksanakan amanah yang diemban kepadanya untuk mengasuh keponakannya
dengan sebaik-baiknya dan menggabungkan beliau dengan anak-anaknya. Dia bahkan
mendahulukan kepentingannya ketimbang kepentingan mereka. Dia juga
mengistimewakannya dengan penghormatan dan penghargaan. Perlakuan tersebut
terus berlanjut hingga beliau –shallallahu 'alaihi wasallam- berusia diatas
empat puluh tahun, pamannya masih tetap memuliakan beliau, membentangkan
perlindungan terhadapnya, menjalin persahabatan ataupun mengobarkan permusuhan
dalam rangka membelanya .
Ibnu Asakir meriwayatkan hafits dari Jalhamah bin Arfathah, dia berkata : ketika aku datang ke Makkah, mereka sedang mengalami musim paceklik (tidak turun hujan), lantas orang-orang Quraisy berseru: wahai Abu Thalib! Air lembah telah mengering dan kemiskinan merajalela, untuk itu mari kita meminta agar diturunkan hujan. Kemudian Abu Thalib keluar dengan membawa seorang anak yang laksana matahari yang diselimuti oleh awan tebal pertanda hujan lebat akan turun, yang darinya muncul kabut tebal, yang disekitarnya terdapat sumber mata air sumur. Lalu Abu Thalib memegang anak tersebut, menyandarkan punggungnya ke Ka'bah, serta menaunginya dengan jari-jemarinya (dari panasnya matahari) ketika itu tidak ada gumpalan awan sama sekali, namun tiba-tiba awan datang dari sana sini, kemudian turunlah hujan dengan derasnya sehingga lembah mengalirkan air dan lahan-lahan tanah menjadi subur
Rasulullah
–shallallahu 'alaihi wasallam- ikut berdagang ke Negri Syam
Ketika
Rasulullah –shallallahu'alaihi wasallam- berusia dua belas tahun, pamannya, Abu
Thalib membawanya serta berdagang ke negeri Syam hingga mereka sampai di suatu
tempat yang bernama Bushra yang masuh termasuk wilayah Syam dan merupakan
ibukota Hauran. Ketika itu Syam merupakan ibukota negeri-negeri Arab yang masih
yang masih mengadopsi undang-undang Romawi. Di negeri inilah dikenal seorang
Rahib (pendeta) yang bernama Bahira. Ketika rombongan tiba, dia langsung
menyongsong mereka, padahal sebelumnya dia tidak pernah melakukan hal itu,
kemudian berjalan di sela-sela mereka hingga sampai kepada Rasulullah
–shallallahu 'alaihi wasallam-, lalu memegang tangannya sembari berkata: inilah
penghulu alam semesta, inilah utusan Rabb alam semesta, dia diutus oleh Allah
sebagai ramat bagi alam semesta ini. Abu Thalib dan dan pemuka kaum Quraisy
bertanya kepadanya: bagaimana anda tahu hal itu?. Dia menjawab: sesungguhnya
ketika kalian muncul dan naik dari bebukitan, tidak satu pun dari bebatuan atau
pun pepohonan melainkan bersujud terhadapnya, dan keduanya tidak akan bersujud
kecuali terhadap seorang Nabi. Sesungguhnya aku dapat mengetahuinya melalui
tanda kenabian yang terletak pada bagian bawah tulang rawan pundaknya yang
berbentuk seperti apel. Sesungguhnya kami mengetahui hal tersebut dari kitab
suci kami.
Kemudian sang Rahib mempersilahkan mereka dan menjamu mereka secara istimewa. Setelah itu dia meminta kepada Abu Thalib agar memulangkan keponakannya tersebut ke Makkah dan tidak membawanya kembali ke Syam, sebab khawatir bila tertangkap oleh orang-orang Romawi dan Yahudi. Akhirnya pamannya mengirimnya pulang bersama sebagian anaknya ke Makkah.