Sabtu, 17 Februari 2024

Kontingen-Kontingen Pertama yang Berhijrah

06.07

Kontingen-Kontingen Pertama yang Berhijrah

Setelah Bai'at Aqabah kedua rampung dilaksanakan dan Islam juga telah sukses membangun sebuah tanah air di tengah-tengah padang sahara yang diselimuti oleh gelombang kekufuran dan kejahilan –dimana ini merupakan prestasi terpenting yang diraih Islam sejak permulaan dakwah-, Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- akhirnya mengijinkan kaum Muslimin untuk melakukan hijrah ke tanah air baru tersebut.

Hijrah tidak berarti hanya sekedar mengesampingkan kepentingan seseorang, mengorbankan harta dan menyelamatkan jiwanya saja, tetapi harus disertai dengan kesadaran bahwa pada hakikatnya dirinya telah dihalakan dan terampas, bisa jadi akan binasa di awal perjalanan atau di penghujungnya, dan menyadari pula bahwa dirinya akan berjalan menuju masa depan yang masih tak menentu, sehingga tidak tahu apa akibat yang nanti akan timbul, apakah ketidak pastian atau pun kesedihan.

Kaum Muslimin mulai berhijrah dengan mengetahui semua resiko itu. Di lain pihak, kaum musyrikin berupaya menghalang-halangi keberangkatan mereka, sebab mereka menyadari apa implikasinya kelak. Berikut ini beberapa contoh dari momen tersebut:

1.       Di antara orang pertama yang berhijrah adalah Abu Salamah. Beliau berhijrah setahun sebelum terjadinya Bai'at Aqabah Kubra berdasarkan pendapat Ibnu Ishaq. Ikut serta bersamanya istri dan putranya. Ketika dia sudah sepakat untuk berangkat, para iparnya berkata: kami tidak mengkhawatirkan jiwamu, tetapi apa pendapatmu mengenai wanita kami ini (maksudnya Ummu Salamah), atas dasar apa kami membiarkanmu membawanya serta berjalan ke negeri tersebut? Akhirnya mereka merebut istrinya tersebut dari tangannya. Hal ini membuat marah keluarga besar Abu Salamah atas perlakuan terhadap salah seorang anggota keluarga mereka. Mareka lalu berkata: kami tidak akan membiarkan putra kami (maksudnya anak Abu Salamah) pergi bersama ibunya karena kalian telah merebutnya dari tangan teman kami. Mereka pun akhirnya saling memperebutkan putra dari kedua suami-istri tersebut, sehingga mengakibatkan tangannya lepas, lalu pihak keluarga Abu Salamah membawanya pergi. Abu Salamah berangkat sendirian menuju Madinah, sedangkan Ummu Salamah –radhiyallahu 'anha- setiap pagi pergi ke sebuah tempat bernama al-Abthah,  menangis di sana hingga sore hari. Hal ini dilakukannya setelah kepergian sang suami dan terampasnya sang anak dari tangannya. Tidak terasa setahun pun berlalu dari kejadian itu, salah seorang kerabat dekat Ummu Salamah tidak tega melihat kondisinya, lalu berkata: tidakkah kalian keluarkan saja wanita yang sengsara ini? Kalian telah memisahkan antara dirinya, suami dan putranya! Mereka pun akhirnya berkata padanya: susullah suamimu jika kamu mau!, lalu dia meminta agar putranya dikembalikan kepadanya dari tangan keluarga suaminya. Akhirnya Ummu Salamah berangkat menuju Madinah, sebuah perjalanan berjarak kurang lebih 500km, tidak ada seorang makhluk Allah pun menyertainya, hingga sampailah dia di Tan'im (miqat terdekat penduduk Makkah). Di sini dia bertemu dengan Utsman bin Thalhah bin Abi Thalhah. Setelah mengetahui kondisinya, dia mengantarnya hingga sampai ke Madinah. Tatkala Utsman sudah dapat melihat Quba' dia berkata: di perkampungan inilah suamimu itu, masuklah, semoga Allah memberkatimu. Kemudian Utsman pergi kembali menuju Makkah.

2.       Shuhaib bin Sinan ar-Rumi berhijrah setelah Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam-. Ketika dia hendak berhijrah kaum kafir berkata kepadanya: saat kamu datang ke sini sebagai pendatang kondisimu miskin dan hina, lalu hartamu menjadi banyak ketika kamu berada di negeri kami, dan sekarang kamu telah mencapai kekayaan seperti kodisimu saat ini, apakah setelah itu semua, kemudian kamu akan kabur begitu saja membawa harta dan jiwamu? Demi Allah, hal itu tidak boleh terjadi!

Dia berkata kepada mereka: bagaimana pendapat kalian jika aku serahkan semua hartaku kepada kalian, apakah kalian akan membiarkan aku pergi?

Mereka menjawab: baiklah.

Dia berkata lagi: sesungguhnya aku menyerahkan hartaku ini kepada kalian.

Hal tersebut sampai ke telinga Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- dan beliau pun bersabda: mudah-mudahan Suhaib mendapatkan keberuntungan, mudah-mudahan Suhaib mendapatkan keberuntungan.

3.       Umar bin al-Khaththab, Iyasy bin Abi Rabi'ah dan Hisyam bin al-Ash bin Wa'il berjanji untuk bertemu di suatu tempat pada pagi hari untuk kemudian berhijrah ke Madinah. Lalu bertemulah Umar dengan Iyasy terlebih dahulu, namun Hisyam tertahan sehingga tidak dapat bertemu dengan keduanya.

Tetkala keduanya sampai di Madinah dan singgah di Quba' datanglah Abu Jahal dan saudaranya al-Harits menjumpai Iyasy –ketiganya merupakan saudara seibu. Keduanya berkata kepadanya: sesungguhnya ibumu telah bernadzar tidak akan ada sisir yang menyentuh rambutnya (tidak akan menyisir rambut) dan tidak akan berteduh bila tersengat matahari hingga dia melihatmu. Hal ini membuat Iyasy menjadi iba terhadap ibunya. Lalu Umar berkata kepadanya: wahai Iyasy, demi Allah! Sesungguhnya kaummu tidak menginginkan darimu selain untuk menguji agamamu, sehingga kamu terfitnah, berhati-hatilah karenanya! Demi Allah! Andaikata ada seekor kutu yang mengigiti ubun kepala ibumu, pasti dia akan menyisirnya, dan andaikata panas demikian menyengat di Makkah pastilah dia akan berteduh. Namun Iyasy bersikeras untuk pergi bersama kedua saudaranya tersebut untuk menepati sumpah ibunya.

Umar berkata kepadanya: jika memang kamu sudah bertekad demikian, maka ambillah untaku ini sebab ia unta yang cerdas dan mudah ditundukkan.tetaplah di atas punggungnya, jika ada sesuatu yang mencurigakan dari mereka, maka selamatkan dirimu bersamanya.

Lalu dia pergi bersama kedua saudaranya dengan menunggangi unta tersebut hingga ketika sampai di sebuah jalan, Abu Jahal berkata kepadanya: wahai anak saudaraku, Demi Allah, untaku ini sudah membandel, sudikah kamu memboncengku di atas untamu itu?

Dia menjawab: tentu saja. Lalu dia menurunkan untanya. Keduanya pun melakukan hal yang sama. Namun tatkala mereka sudah sama-sama menapaki tanah, serta-merta mereka berdua menyerangnya lalu menambat dan mengikatnya, kemudian mereka berdua membawanya pulang ke Makkah pada siag hari dalam kondisi terikat.

Keduanya lantas berteriak: wahai penduduk Makkah! Beginilah yang harus kalian lakukan terhadap orang-orang bodoh di kalangan kalian seperti yang kami lakukan terhadap orang bodoh di kalangan kami ini.

Demikianlah tiga contoh perlakuan kaum musyrikin terhadap orang-orang yang ingin berhijrah saat mereka mengetahuinya, akan tetapi sekali pun demikian, orang-orang terus berbondong-bondong berhijrah, sebagian mereka mengikuti sebagian yang lain. Dan setelah Bai'at Aqabah Kubra sudah berlalu dua bulan beberapa hari, tidak ada lagi seorang Muslim pun selain Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam-, Abu Bakar dan Ali yang tersisa di sana. Kedua orang sahabat ini ikut serta tinggal karena perintah dari beliau. Demikian juga masih tinggal orang yang ditahan oleh kaum musyrikin secara paksa. Sementara itu Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- telah mempersiapkan segala sesuatunya menunggu kapan diperintahkan pergi, demikian juga Abu Bakar, ia melakukan hal yang sama.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah –radhiyallahu 'anha- dia berkata: Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- berkata kepada kaum Muslimin: sesungguhnya telah diperlihatkan kepadaku Dar al-Hijrah (negeri tujuan hijrah) kalian, sebuah tempat yang ditumbuhi pepohonan kurma, terletak antara dua kawasan yang yang diselimuti bebatuan hitam (yakni perbatasan dari arah timur dan baratnya). Akhirnya berhijrahlah sahabat yang mampu melakukannya menuju Madinah, sedangkan mayoritas kaum Muslimin yang masih berada di Habasyah segera berhijrah lagi menuju Madinah. Dalam pada itu, Abu Bakar juga sudah berkemas-kemas untuk berangkat menuju Madinah, lalu Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya: jangan terburu-buru, sesungguhnya aku berharap segera diizinkan. Abu Bakar bertanya kepada beliau: sungguh apakah engkau mengharapkan hal itu? Beliau menjawab: ya. Akhirnya Abu Bakar menahan dirinya demi tetap bersama Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- guna menemaninya dan dia pun memberi makan kedua unta mereka dengan dedaunan yang jatuh. Kondisi tersebut berlangsung selama empat bulan.