Rabu, 13 Juni 2018

Sejarah Ibnu Malik

19.25
Ibnu Malik, nama lengkapnya yakni Syeikh Al-Alamah Muhammad Jamaluddin ibnu Abdillah ibnu Malik al-Thay, lahir di Jayyan. Daerah ini sebuah kota kecil di bawah kekuasaan Andalusia (Spanyol). Pada ketika itu, penduduk negeri ini sangat cinta kepada ilmu, dan mereka berpacu dalam menempuh pendidikan, bahkan berpacu pula dalam karang-mengarang buku-buku ilmiah. Pada masa kecil, Ibn Malik menuntut ilmu di daerahnya, terutama mencar ilmu pada Syaikh Al-Syalaubini (w. 645 H). Setelah menginjak dewasa, ia berangkat ke Timur untuk menunaikan ibadah haji,dan diteruskan menempuh ilmu di Damaskus. Di sana ia mencar ilmu ilmu dari beberapa ulama setempat, antara lain Al-Sakhawi (w. 643 H). Dari sana berangkat lagi ke Aleppo, dan mencar ilmu ilmu kepada Syaikh Ibn Ya’isy al-Halaby (w. 643 H).

Di daerah dua kota ini nama Ibn Malik mulai dikenal dan dikagumi oleh para ilmuan, alasannya cerdas dan pemikirannya jernih. Ia banyak menampilkan teori-teori nahwiyah yang menggambarkan teori-teori mazhab Andalusia, yang jarang diketahui oleh orang-orang Syiria waktu itu. Teori nahwiyah semacam ini, banyak diikuti oleh murid-muridnya, ibarat imam Al-Nawawi, Ibn al-Athar, Al-Mizzi, Al-Dzahabi, Al-Shairafi, dan Qadli al-Qudlat Ibn Jama’ah. Untuk menguatkan teorinya, sarjana besar kelahiran Eropa ini, senantiasa mengambil saksi (syahid) dari teks-teks Al-Qur’an. Kalau tidak didapatkan, ia menyajikan teks Al-Hadits. Kalau tidak didapatkan lagi, ia mengambil saksi dari sya’ir-sya’ir sastrawan Arab kenamaan. Semua pemikiran yang diproses melalui paradigma ini dituangkan dalam kitab-kitab karangannya, baik berbentuk nazhom (syair puitis) atau berbentuk natsar (prosa). Pada umumnya, karangan tokoh ini lebih baik dan lebih indah dari pada tokoh-tokoh pendahulunya.

Di antara ulama, ada yang menghimpun semua tulisannya, ternyata goresan pena itu lebih banyak berbentuk nazham. Demikian goresan pena Al-Sayuthi dalam kitabnya, Bughyat al-Wu’at. Di antara karangannya yakni Nazhom al-Kafiyah al-Syafiyah yang terdiri dari 2757 bait. Kitab ini menyajikan semua informasi ihwal Ilmu Nahwu dan Shorof yang diikuti dengan komentar (syarah). Kemudian kitab ini diringkas menjadi seribu bait, yang sekarang terkenal dengan nama Alfiyah Ibn Malik. Kitab ini bisa disebut Al-Khulashah (ringkasan) alasannya isinya mengutip inti uraian dari Al-Kafiyah, dan bisa juga disebut Alfiyah (ribuan) alasannya bait syairnya terdiri dari seribu baris. Kitab ini terdiri dari delapan puluh (80) bab, dan setiap belahan diisi oleh beberapa bait.

Bab yang terpendek diisi oleh dua bait ibarat Bab al-Ikhtishash dan belahan yang terpanjang yakni Jama’ Taktsir alasannya diisi empat puluh dua bait. Dalam muqaddimahnya, kitab puisi yang menggunakan Bahar Rojaz ini disusun dengan maksud (1) menghimpun semua permasalahan nahwiyah dan shorof yang dianggap penting. (2) menunjukan hal-hal yang rumit dengan bahasa yang singkat , tetapi sanggup menghimpun kaidah yang berbeda-beda, atau dengan sebuah pola yang bisa menggambarkan satu persyaratan yang diharapkan oleh kaidah itu.(3) membangkitkan perasaan bahagia bagi orang yang ingin mempelajari isinya. Semua itu terbukti, sehingga kitab ini lebih baik dari pada Kitab Alfiyah karya Ibn Mu’thi. Meskipun begitu, penulisnya tetap menghargai Ibnu Mu’thi alasannya tokoh ini membuka kreativitas dan lebih senior. Dalam Islam, semua bau kencur harus menghargai seniornya, paling tidak alasannya ia lebih sepuh, dan menampilkan kreativitas.

Kitab Khulashoh yang telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa di dunia ini, mempunyai posisi yang penting dalam perkembangan Ilmu Nahwu. Berkat kitab ini dan kitab aslinya, nama Ibn Malik menjadi popular, dan pendapatnya banyak dikutip oleh para ulama, termasuk ulama yang mengembangkan ilmu di Timur. Al-Radli, seorang cendekiawan besar ketika menyusun Syarah Al-Kafiyah karya Ibn Hajib, banyaklah mengutip dan mempopulerkan pendapat Ibn Malik. Dengan kata lain, perkembangan nahwu sehabis ambruknya beberapa akademisi Abbasiyah di Baghdad, dan merosotnya para ilmuan Daulat Fathimiyah di Mesir, maka para pelajar pada umumnya mengikuti pemikiran Ibnu Malik. Sebelum kerajaan besar di Andalusia runtuh, pelajaran nahwu pada awalnya, tidak banyak diminati oleh masyarakat. Tetapi sehabis lama, pelajaran ini menjadi kebutuhan dan dinamislah gerakan karang-mengarang kitab ihwal ilmu yang menarik bagi kaum santri ini. Di sana beredarlah banyak karangan yang beda-beda, dari karangan yang paling singkat hingga karangan yang terurai lebar. Maksud penulisnya ingin membuatkan ilmu ini, kepada masyarakat, dan sanggup diambil manfaat oleh kaum pelajar. Dari sekian banyak itu, muncullah Ibn Malik, Ibn Hisyam, dan al-Sayuthi. Karangan mereka ihwal kitab-kitab nahwu banyak menampilkan metoda gres dan banyak menyajikan trobosan baru, yang memperkaya khazanah keilmuan. Mereka tetap menampilkan khazanah keilmuan baru, meskipun banyak pula teori-teori usang yang masih dipakai. Dengan kata lain, mereka menampilkan gagasan dan kreatifitas yang baru, seperti hidup mereka disiapkan untuk menjadi penerus Imam Sibawaih (Penggagas munculnya Nahwu dan Shorof, red.). Atas dasar itu, Alfiyah Ibn Malik yakni kitab yang amat banyak dibantu oleh ulama-ulama lain dengan menulis syarah (ulasan) dan hasyiyah (catatan pinggir) terhadap syarah itu.

Dalam kitab Kasyf al-Zhunun, para ulama penulis Syarah Alfiyah berjumlah lebih dari empat puluh orang. Mereka ada yang menulis dengan panjang lebar, ada yang menulis dengan singkat (mukhtashar), dan ada pula ulama yang tulisannya belum selesai. Di sela-sela itu muncullah beberapa kreasi gres dari beberapa ulama yang menawarkan catatan pinggir (hasyiyah) terhadap kitab-kitab syarah. Syarah Alfiyah yang ditulis pertama yakni buah pena putera Ibn Malik sendiri, Muhammad Badruddin (w.686 H). Syarah ini banyak mengkritik pemikiran nahwiyah yang diuraikan oleh ayahnya, ibarat kritik ihwal uraian maf’ul mutlaq, tanazu’ dan sifat mutasyabihat. Kritikannya itu gila tapi putera ini yakin bahwa goresan pena ayahnya perlu ditata ulang. Atas dasar itu, Badruddin mengarang bait Alfiyah tandingan dan mengambil syahid dari ayat al-Qur’an. Disitu tampak rasional juga, tetapi hampir semua ilmuan tahu bahwa tidak semua teks al-Qur’an bisa diadaptasi dengan teori-teori nahwiyah yang sudah dianggap baku oleh ulama. Kritikus yang pada masa mudanya bertempat di Ba’labak ini, sangat rasional dan cukup beralasan, hanya saja ia banyak mendukung teori-teori nahwiyah yang syadz Karena itu, penulis-penulis Syarah Alfiyah yang muncul berikutnya, ibarat Ibn Hisyam, Ibn Aqil, dan Al-Asymuni, banyak meralat alur pemikiran putra Ibn Malik tadi. Meskipun begitu, Syarah Badrudin ini cukup menarik, sehingga banyak juga ulama besar yang menulis hasyiyah untuknya, ibarat karya Ibn Jama’ah (w.819 H), Al-‘Ainy (w.855 H), Zakaria al-Anshariy (w.191 H), Al-Sayuthi (w.911 H), Ibn Qasim al-Abbadi (w.994 H), dan Qadli Taqiyuddin ibn Abdulqadir al-Tamimiy (w.1005 H).

Di antara penulis-penulis syarah Alfiyah lainnya, yang bisa ditampilkan dalam goresan pena ini, yakni Al-Muradi, Ibn Hisyam, Ibn Aqil, dan Al-Asymuni.

Al-Muradi (w. 749 H) menulis dua kitab syarah untuk kitab Tashil al-Fawaid dan Nazham Alfiyah, keduanya karya Ibn Malik. Meskipun syarah ini tidak popular di Indonseia, tetapi pendapat-pendapatnya banyak dikutip oleh ulama lain. Antara lain Al-Damaminy (w. 827 H) seorang sastrawan besar ketika menulis syarah Tashil al-Fawaid menjadikan karya Al-Muradi itu sebagai kitab rujukan. Begitu pula Al-Asymuni ketika menyusun Syarah Alfiyah dan Ibn Hisyam ketika menyusun Al-Mughni banyak mengutip pemikiran al-Muradi yang muridnya Abu Hayyan itu.

Ibn Hisyam (w.761 H) yakni hebat nahwu raksasa yang karya-karyanya banyak dikagumi oleh ulama berikutnya. Di antara karya itu Syarah Alfiyah yang berjulukan Audlah al-Masalik yang terkenal dengan sebutan Audlah . Dalam kitab ini ia banyak menyempurnakan definisi suatu istilah yang konsepnya telah disusun oleh Ibn Malik, ibarat definisi ihwal tamyiz. Ia juga banyak menertibkan kaidah-kaidah yang antara satu sama lain bertemu, ibarat kaidah-kaidah dalam Bab Tashrif. Tentu saja, ia tidak hanya terpaku oleh Mazhab Andalusia, tetapi juga mengutip Mazhab Kufa, Bashrah dan semacamnya. Kitab ini cukup menarik, sehingga banyak ulama besar yang menulis hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Al-Sayuthi, Hasyiyah Ibn Jama’ah, Ha-syiyah Putera Ibn Hisyam sendiri, Hasyiyah Al-Ainiy, Hasyiyah Al-Karkhi, Hasyiyah Al-Sa’di al-Maliki al-Makki, dan yang menarik lagi yakni catatan kaki ( ta’liq ) bagi Kitab al-Taudlih yang disusun oleh Khalid ibn Abdullah al-Azhari (w. 905 H).

Adapun Ibn Aqil (w. 769 H) yakni ulama kelahiran Aleppo dan pernah menjabat sebagai penghulu besar di Mesir. Karya tulisnya banyak, tetapi yang terkenal yakni Syarah Alfiyah. Syarah ini sangat sederhana dan gampang dicerna oleh orang-orang pemula yang ingin mempelajari Alfiyah Ibn Malik . Ia bisa menguraikan bait-bait Alfiyah secara metodologis, sehingga terungkaplah apa yang dimaksudkan oleh Ibn Malik pada umumnya. Penulis berpendapat, bahwa kitab ini yakni Syarah Alfiyah yang paling banyak beredar di pondok-pondok pesantren, dan banyak dibaca oleh kaum santri di Indonesia. Terhadap syarah ini, ulama berikutnya tampil untuk menulis hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Ibn al-Mayyit, Hasyiyah Athiyah al-Ajhuri, Hasyiyah al-Syuja’i, dan Hasyiyah Al-Khudlariy.

Syarah Alfiyah yang hebat lagi yakni Manhaj al-Salik karya Al-Asymuni (w. 929 H). Syarah ini sangat kaya akan informasi, dan sumber kutipannya sangat bervariasi. Syarah ini sanggup dinilai sebagai kitab nahwu yang paling sempurna, alasannya memasukkan banyak sekali pendapat mazhab dengan argumentasinya masing-masing. Dalam syarah ini, pendapat para penulis Syarah Alfiyah sebelumnya banyak dikutip dan dianalisa. Antara lain mengulas pendapat Putra Ibn Malik, Al-Muradi, Ibn Aqil, Al-Sayuthi, dan Ibn Hisyam, bahkan dikutip pula komentar Ibn Malik sendiri yang dituangkan dalam Syarah Al-Kafiyah , tetapi tidak dicantumkan dalam Alfiyah . Semua kutipan-kutipan itu diletakkan pada posisi yang tepat dan disajikan secara sistematis, sehingga para pembaca gampang menyelusuri suatu pendapat dari sumber aslinya.

Kitab ini mempunyai banyak hasyiyah juga, antara lain : Hasyiyah Hasan ibn Ali al-Mudabbighi, Hasyiyah Ahmad ibn Umar al-Asqathi, Hasyiyah al-Hifni, dan Hasyiyah al-Shabban. Dalam muqaddimah hasyiyah yang disebut final ini, penulisnya mencantumkan ulasan, bahwa metodanya didasarkan atas tiga unsur, yaitu (a) Karangannya akan merangkum semua pendapat ulama nahwu yang mendahului penulis, yang terurai dalam kitab-kitab syarah al-Asymuni. (b) Karangannya akan mengulas beberapa problem yang sering mengakibatkan salah faham bagi pembaca. (c) Menyajikan komentar gres yang belum ditampilkan oleh penulis hasyiyah sebelumnya. Dengan demikian, kitab ini bisa dinilai sebagai embel-embel catatan bagi orang yang ingin mempelajari teori-teori ilmu nahwu.